LOCUSONLINE, BANDUNG – Sebilah kujang—yang selama ini dikeramatkan sebagai pusaka budaya Sunda—kini menjadi objek gugatan miliaran rupiah. DPD Paguyuban Advokat Sunda Indonesia (PAKSI) Kota Bandung resmi menyeret Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jawa Barat ke meja hijau, dengan tuntutan Rp 7 miliar atas dugaan Perbuatan Melawan Hukum. Selasa, 22 Juli 2025
Pemicunya? Sebuah pameran senjata tradisional Nusantara yang akan digelar di Museum Sri Baduga Bandung, 29 Juli hingga 31 Oktober 2025. Panitia menyebut Kujang sebagai “senjata khas Jawa Barat”—dan bagi PAKSI, itu bukan hanya kesalahan, tapi bentuk penghinaan terhadap budaya Sunda.
“Kujang bukan alat perang. Ia adalah simbol spiritual, pusaka sakral, dan lambang peradaban Sunda,” ujar Kamaludin, S.H., kuasa hukum penggugat, dengan nada tegas seperti sedang membela terdakwa tak bersalah.
PAKSI menegaskan bahwa penyematan istilah “senjata” terhadap Kujang adalah tindakan ceroboh sekaligus inkonstitusional secara budaya. Bahkan, mereka merujuk pada perkara pidana 2011 yang menyebut Kujang tak memenuhi unsur senjata tajam menurut UU Darurat No. 12 Tahun 1951.
Tak berhenti pada narasi, mereka menyusun class action mewakili masyarakat Sunda sedunia—meskipun tak semua merasa terwakili. Gugatan itu terdaftar di Pengadilan Negeri Bandung dengan nomor 292/PDT.6/2025/PN Bdg sejak 3 Juli lalu.
Baca Juga : Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Garut, Semoga Bukan Rencana Tanpa Aksi atau Keinginan Tanpa Kepastian
Selain ganti rugi fantastis Rp 7 miliar, para penggugat juga menuntut dibangunnya Monumen Kujang Bukan Senjata di pusat Kota Bandung. Tak hanya itu, mereka meminta pemerintah segera menerbitkan SK resmi, hingga Perda, yang menegaskan posisi Kujang sebagai pusaka budaya Sunda, bukan senjata.
“Ini soal harga diri budaya. Bukan soal pamrih materi,” bantah Dandan Kusdani, S.H.—meski angka gugatannya bernilai setara gedung sekolah atau rumah sakit tipe C.
Gugatan juga menuntut pembatalan pameran jika masih menyebut Kujang sebagai senjata, penghapusan semua dokumen resmi yang salah kaprah, hingga permintaan maaf di media nasional dari pemerintah.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”