LOCUSONLINE, YOGYAKARTA – Di tengah semarak spanduk perjuangan dan aroma kopi instan khas forum mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM) memilih angkat kaki dari panggung yang mereka sebut bukan lagi ruang dialektika, melainkan panggung pencitraan elite.
Mereka resmi mundur dari Aliansi BEM Seluruh Indonesia Kerakyatan (BEM SI Kerakyatan) pada 18 Juli 2025, tepat sehari sebelum penutupan Musyawarah Nasional XVIII di Universitas Dharma Andalas, Padang, Sumatera Barat.
“Ini bukan karena kami kecewa, tapi karena kami enggan turut dalam parade kemunduran gerakan. Kami keluar karena idealisme kami tidak untuk dijual ke panggung politik,” ujar Ketua BEM KM UGM, Tiyo Ardianto, dalam pernyataan tegas nan getir, Senin (21/7).
Apa yang semestinya menjadi ruang strategis untuk menyusun arah perjuangan mahasiswa, justru menjelma menjadi ruang nyaman bagi para elite. Di antara sidang-sidang dan diskusi hangat, hadir pula Ketua Umum Partai Perindo, Menpora, Wakil Gubernur Sumbar, Kapolda, hingga Kepala BIN Daerah. Bahkan karangan bunga dari Kepala BIN pun turut mewarnai latar “perjuangan”.
“Kami mempertanyakan, untuk siapa sebenarnya forum ini digelar? Untuk rakyat, atau untuk restu kekuasaan?” kata Tiyo.
Baca Juga : Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Garut, Semoga Bukan Rencana Tanpa Aksi atau Keinginan Tanpa Kepastian
BEM KM UGM menilai, kehadiran aparat negara dan tokoh politik dalam forum mahasiswa bukan hanya bentuk intervensi, tapi penjinakan ideologis.
“Ketika Kepala BIN beri ucapan ‘Selamat dan Sukses’ di depan ruang sidang mahasiswa, itu bukan basa-basi. Itu adalah simbol kolonisasi gagasan,” tegas Tiyo.
Alih-alih memperkuat agenda rakyat, forum Padang justru dipenuhi intrik dan ambisi. Bukan hanya soal jabatan-jabatan struktural antarorganisasi, tetapi juga adu kuasa yang berujung fisik. Dua mahasiswa dilaporkan mengalami luka-luka akibat pertikaian antarkubu.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”