“Cukup satu BUMD saja,” ucap Dedi. Publik pun bertanya: cukup untuk siapa?
Isu perubahan tata ruang dan penyusunan perda tentang tata kelola air kembali muncul sebagai bagian dari strategi “pemerataan pembangunan”. Dedi juga mengusulkan agar daerah penghasil air dan padi diberi insentif. Gagasan yang bagus di atas makalah seminar.
Baca Juga : Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Garut, Semoga Bukan Rencana Tanpa Aksi atau Keinginan Tanpa Kepastian
Namun, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa perubahan tata ruang seringkali berujung pada alihfungsi lahan dan karpet merah bagi investor. Sementara petani, tetap bertani dengan harga pupuk yang melambung dan insentif yang belum pernah nyata turun ke sawah.
Tak cukup mengatur air, RPJMD 2025–2029 juga menargetkan tata kelola karbon. Daerah penghasil karbon (baca: paru-paru hijau) akan diberi insentif. Tapi ini pun menimbulkan kekhawatiran: jangan sampai konsep “insentif karbon” jadi legitimasi baru bagi eksploitasi alam berbalut regulasi hijau.
Yang paling menyedihkan, seluruh rancangan ini disahkan tanpa suara publik yang terdengar. Dedi mengklaim semua fraksi DPRD telah menyetujui. Tak ada pembahasan tentang perubahan provinsi, katanya. Tapi rakyat menunggu satu hal yang tak pernah dibahas: perubahan hidup yang nyata.
RPJMD seharusnya jadi peta jalan kesejahteraan rakyat, bukan hanya peta ulang birokrasi, di mana desa diatur dari meja dan rakyat diminta percaya sambil terus menunggu keajaiban dana desa. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














