LOCUSONLINE, JAKARTA – Ketika dua motor utama gerakan mahasiswa, BEM UGM dan BEM Undip, memutuskan angkat kaki dari Aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI), tanggapan yang keluar dari pusat aliansi terdengar seperti doa pengantar jenazah: lembut, penuh penghormatan, tapi sarat kesedihan yang ditahan-tahan.
Koordinator Pusat BEM SI, Muzzamil Ihsan, dalam pernyataan resminya Senin (21/7/2025), menyampaikan bahwa pihaknya menghormati keputusan mundur tersebut. “Kami sangat menghargai keputusan yang diambil BEM UGM, BEM Undip, serta BEM lainnya,” ujar Muzzamil, sembari menegaskan bahwa gerakan mahasiswa tetap utuh—meski perlahan mengecil.
Baca Juga : Munas Mahasiswa Rasa Musra: Gerakan Dijinakkan, BEM UGM Kabur
Di atas kertas, BEM SI masih mengusung semangat persatuan. Tapi di lapangan, retakan makin tampak. BEM UGM dan BEM Undip tak hanya mundur diam-diam, tapi secara terbuka menegaskan bahwa forum mahasiswa kini terlalu mesra dengan kekuasaan. Sebuah peringatan keras atas gerakan yang mulai kehilangan arah: dari perlawanan jadi peliharaan.
“Kami tidak punya ambisi jadi apa-apa di struktur BEM SI,” tulis BEM UGM dalam pengumuman resminya. Kalimat yang terdengar sederhana, tapi sarat sindiran bagi mereka yang terlalu nyaman berada di pangkuan kekuasaan.
Muzzamil tampak berusaha menenangkan badai dengan kenangan. Ia menyebut bahwa UGM dan Undip adalah bagian penting dari sejarah panjang BEM SI sejak 2007. Namun nostalgia tak cukup menyatukan langkah jika realitas di lapangan berkata sebaliknya.
“Aliansi bukan sekadar identitas, tapi wadah solidaritas,” katanya, meski faktanya justru identitas itulah yang kini dipertanyakan—apakah BEM SI masih suara mahasiswa, atau hanya gema kekuasaan?
Baca Juga : Jalan Rusak, Hukum Berliku: KPK Ditilang Izin, Jaksa Lolos Pemeriksaan
BEM SI menyatakan tetap membuka pintu untuk UGM dan Undip kembali ke pangkuan. Tapi ajakan ini terdengar seperti rumah yang ditinggal pergi anaknya karena tak lagi nyaman. Apakah mereka akan kembali hanya karena diundang? Atau karena idealisme kembali diberi ruang?
BEM SI mengaku akan menjadikan keluarnya dua kampus besar itu sebagai bahan evaluasi. Tapi tanpa keberanian mengakui akar masalah—yakni kooptasi kekuasaan, degradasi independensi, dan ambisi struktural—evaluasi hanya jadi rutinitas manis tanpa hasil.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”