Di sisi lain, rasio pendapatan belum bisa mengejar kecepatan belanja. Tapi pemerintah tetap yakin, defisit bisa ditambal dengan jurus lama: utang baru dan doa panjang. Karena dalam postur RAPBN gaya baru ini, keberanian menghamburkan uang menjadi ukuran kemajuan.
Namun pertanyaannya: seberapa lama negara bisa terus hidup dengan logika belanja dulu, tanggung jawab belakangan?
Rakyat tentu berharap, belanja negara bukan lagi sekadar angka megah di atas kertas atau dalih politik dalam kampanye, tapi benar-benar menyentuh mereka yang antre beras subsidi dan bayar BPJS menunggak.
Tapi yah, seperti biasa: anggaran disusun, rakyat disuruh maklum, dan defisit disimpan di lemari besi yang dijaga janji-janji pemilu. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”