LOCUSONLINE, JAKARTA – Di panggung megah Hari Anak Nasional, Ketua DPR RI Puan Maharani tampil dengan nada prihatin nan penuh harapan. Dengan wajah serius dan pidato penuh diksi ‘perlindungan’, ia menabuh genderang kesadaran: bahwa anak-anak Indonesia masih terjebak dalam pusaran kekerasan, bullying, dan stunting. Masalah yang kebetulan masih juga eksis selama partainya ikut berkuasa dua dekade lebih. Rabu, 23 Juli 2025
“Jutaan anak masih hidup dalam ketidakpastian,” ujar Puan, sambil mengutip data kekerasan anak yang mencapai 5.574 kasus hingga April 2025. Entah kenapa, angka-angka ini selalu digunakan untuk menambah dramatisasi pidato, bukan bahan bakar kebijakan.
Puan menuding sistem perlindungan anak di Indonesia belum terdesentralisasi secara efektif. Sebuah pengakuan telak bahwa janji pembangunan dari pusat ke desa hanya sampai pada baliho, bukan ke unit layanan perlindungan anak di kelurahan. Layanan yang katanya penting, tapi tak kunjung nyata seperti perlindungan itu sendiri.
Tak cukup dengan kekerasan fisik dan seksual, Puan juga menyentil stunting sebagai bentuk kekerasan struktural. Ironisnya, struktur itu sendiri disusun oleh elit yang saban tahun sibuk berkampanye gizi sambil memotong anggaran pangan sehat untuk menambal proyek mercusuar. Katanya, anak stunting hari ini tak bisa jadi generasi emas esok hari. Tapi benarkah emas yang diincar? Atau sekadar logam mulia untuk modal politik?
Baca Juga : Hari Anak Nasional: Parade Seremoni di Atas Luka Seribu Bocah
Pendidikan Emosional: Mati Suri di Ruang Kelas
Setelah Siswa Gantung Diri, Baru Tim Turun Tangan: Sekolah Aman Versi Siaran Pers
Dalam narasi berikutnya, anak-anak disulap menjadi jargon dalam kerangka pembangunan nasional. DPR, katanya, akan mengarusutamakan isu anak. Tapi sayang, selama ini yang lebih sering mengalir ke arus utama adalah pembahasan revisi UU yang pro-elit, bukan anggaran pelayanan dasar untuk anak-anak pelosok yang masih makan bubur air garam.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”