“Anak-anak di desa tertinggal, wilayah adat, dan keluarga prasejahtera masih mengalami ketimpangan akut,” ujar Puan, seraya lupa bahwa ketimpangan itu bukan makhluk gaib, melainkan produk sistem yang dibangun secara turun-temurun oleh mereka yang kini kembali menawarkan solusi.
Tak lupa, Puan juga mengusulkan agar anak-anak dilibatkan dalam musyawarah pembangunan desa. Gagasan segar meski terkesan seperti melempar anak-anak ke forum yang bahkan orang dewasa pun tak paham betul manfaatnya. Mungkin setelah ini akan lahir Balita Rembuk Desa Award?
Dengan penuh semangat, cucu Bung Karno itu menutup pidato: “Selamat Hari Anak Nasional 2025. Semua anak berarti, semua anak berharga.” Sebuah kalimat manis, yang sayangnya hanya hidup dalam seremoni tahunan. Sementara di luar ruang konferensi, anak-anak tetap harus bertarung dengan lapar, trauma, dan tubuh kecil yang dikhianati negara. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”