LOCUSONLINE, GARUT – Setiap 23 Juli, negara ini mengibarkan slogan manis bertajuk Hari Anak Nasional. Namun di tahun 2025, perayaan itu tak lebih dari panggung basa-basi seremonial di tengah kenyataan pahit: lebih dari seribu anak menjadi korban kejahatan hanya dalam tiga pekan di bulan yang katanya bulan kasih untuk anak-anak. Rabu 23 Juli 2025
Data dari Pusiknas Bareskrim Polri membentangkan fakta muram. Sejak 1 hingga 21 Juli 2025, tercatat 1.092 anak yang seharusnya bermain dan bermimpi justru terjerembap sebagai korban kekerasan. Dari pemerkosaan hingga penelantaran, semua menjelma menjadi wajah buram perlindungan anak yang gagal total.
Sebagian besar korban adalah perempuan. Namun tak berarti anak laki-laki luput dari potensi kekerasan. Di negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai kekeluargaan ini, angka menunjukkan ironi: 780 anak perempuan, dan ratusan lainnya, menjadi statistik dalam laporan polisi bukan cerita bahagia di buku kenangan.
Hebatnya lagi, tiap provinsi punya kontribusi. Polda Sumatra Utara mencatat ‘prestasi’ tertinggi dengan 97 korban. Di sisi lain, Papua Barat Daya menyumbang angka paling ‘rendah’: hanya 5 anak. Sebuah kompetisi gelap antar daerah dalam lomba gagal melindungi generasi penerus bangsa.
Tak hanya jadi korban, sebanyak 160 anak juga menjadi terlapor kasus pidana dalam tiga minggu terakhir. Hebat ya? Anak-anak kini bukan hanya bahan eksploitatif, tapi juga dipersiapkan untuk jadi pelaku. Mayoritas laki-laki, mayoritas diabaikan.
Baca Juga : Setelah Siswa Gantung Diri, Baru Tim Turun Tangan: Sekolah Aman Versi Siaran Pers
Lalu siapa pelaku sebenarnya? Siapa monster dalam lemari ini? Pusiknas menyebut 89,75 persen terlapor kejahatan terhadap anak justru adalah orang dewasa—mereka yang seharusnya menjadi pelindung, malah menjadi predator. Orang tua, guru, tetangga, tokoh masyarakat… barisan penjaga moral yang nyatanya menggerogoti anak-anak dalam senyap.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”