Sementara itu, Gubernur Dedi Mulyadi mengakui tanah semakin sempit dan kebutuhan rumah makin tinggi. Tapi solusi yang ditawarkan tetap: utang mikro. Tak ada regulasi tanah, tak ada jaminan akses lahan, tak ada pembatasan spekulasi properti—semuanya dibebankan ke rakyat, dengan cicilan yang katanya ringan.
Direktur PT SMF dan PNM pun ramai-ramai memamerkan angka-angka: miliaran dana disalurkan, ratusan ribu nasabah dilayani. Tapi siapa yang benar-benar terangkat derajat ekonominya? Tak dijelaskan. Yang penting, data tersaji manis dalam press release.
Program yang katanya menyasar “ibu-ibu pra-sejahtera” ini tetap bersifat utang, tetap berorientasi pada pengembalian, dan tetap menjadikan rakyat sebagai pasar. Yang berubah hanya bungkus dan jargon: dari “pinjaman mencekik” jadi “pinjaman memberdayakan”.
Bahkan penyerahan simbolis kunci rumah subsidi hanya diberikan pada 20 orang. Sementara 26 juta lebih rumah tidak layak huni di Indonesia terus menjadi bukti bahwa negara belum benar-benar hadir, selain dalam bentuk bunga ringan dan pencairan kilat.
Dengan dalih mengentaskan kemiskinan, negara justru menyempurnakan sistem utang—membuat rakyat ‘merdeka’ dalam lilitan yang lebih terorganisir.
Selamat datang di era baru perumahan rakyat: rumah belum layak, tapi utang sudah pasti.
Jika Anda memerlukan versi visual seperti karikatur sindiran, caption poster kampanye sosial, atau headline tabloid satir, saya siap bantu membuatkannya. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”