Siswa ini mungkin telah pergi, tapi ia meninggalkan satu catatan penting: ia tidak hanya sakit secara fisik, tapi juga secara psikologis. Dan yang lebih menyakitkan, ia pergi dalam kondisi merasa tak punya tempat berlindung bahkan di lingkungan yang katanya “kedua setelah rumah”: sekolah.
Dedi menyebutkan bahwa anak itu kehilangan sandaran. Tapi sejatinya, ia bukan satu-satunya. Di tengah sistem pendidikan yang makin formal, teknokratik, dan digital, ribuan anak lain sedang kehilangan hal yang sama: rasa aman, rasa diperhatikan, dan rasa dimanusiakan.

Kini, masyarakat menuntut bukan sekadar klarifikasi, tetapi revolusi. Bukan sekadar audit sistem, tetapi pembaruan hati. Karena di negeri yang guru lebih sibuk mengisi perangkat pembelajaran daripada menanyakan kabar muridnya, kita sedang membiarkan sekolah jadi pabrik nilai bukan pelindung nyawa. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”