Dinasnya, kata Irwan, berkomitmen untuk terus berkoordinasi agar pasar-pasar di Garut bisa berubah dari surga lalat menjadi museum pembakaran modern. Dan tentu, semua ini demi para pedagang agar bisa berjualan sambil menghirup harapan… dan sedikit karbon.
Sementara itu, sang penggerak di lapangan, Ketua Karang Taruna Cibatu, Rusli Muhammad Ramdan, menjelaskan bahwa alat ini lahir dari keprihatinan melihat jalanan dipenuhi sampah. Karena tak mungkin terus mengeluh, mereka memilih untuk memanggang masalah tersebut.
“Awalnya kami prihatin,” ujar Rusli, “Lalu kami buat alat yang bisa bakar 10 kuintal per hari.” Operasionalnya dari pagi hingga sore, dengan satu kali bakar menghabiskan satu kuintal. Selebihnya? Mungkin menunggu giliran atau menunggu angin.
Pembiayaan dibantu oleh PT. Trimukti Pratama Putra dan PT. SMS karena inovasi lokal tetap butuh suntikan korporasi agar bisa terus mengepul.
Karang Taruna menargetkan alat ini bisa direplikasi ke tiap desa dan RW. Sebuah ambisi yang layak didoakan: agar semua kampung bisa menikmati mesin penghangus dan menonton asap naik ke langit bersama harapan untuk masa depan yang setidaknya lebih bersih secara visual.
Namun satu pertanyaan tertinggal di udara: apakah membakar semua masalah adalah solusi berkelanjutan, atau sekadar ilusi sementara sambil menunggu musim hujan turun membawa hujan… dan sisa abu? (Suradi/Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”