LOCUSONLINE, GARUT – Di sebuah halaman kantor dinas yang sesekali riuh oleh suara sambutan dan selebrasi, Pemerintah Kabupaten Garut kembali menggelar ritual tahunan bertema keluarga. Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) dan Hari Anak Nasional 2025 digelar Kamis (24/7/2025), lengkap dengan spanduk, jargon muluk, dan daftar panjang permasalahan yang selalu sama dari tahun ke tahun. Kamis, 24 Juli 2025
Asisten Daerah I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Bambang Hafidz, dalam pidato yang sarat keprihatinan (namun tetap formal dan penuh semangat birokratik), menyampaikan bahwa keluarga Indonesia tengah berada di persimpangan zaman. Tak tanggung-tanggung, ia membacakan daftar panjang penyakit sosial: mulai dari runtuhnya empati, menguapnya gotong royong, sampai melonjaknya kasus kekerasan, narkoba, HIV/AIDS, seks bebas, dan kenakalan remaja.
Namun, alih-alih merinci strategi konkret, Bambang mengajak hadirin untuk “memperbarui tekad”. Karena rupanya di republik ini, menyelesaikan krisis keluarga cukup dengan tekad yang disegarkan setahun sekali di atas panggung, di bawah terik matahari, ditemani tumpeng.
Baca Juga : Pendidikan Emosional: Mati Suri di Ruang Kelas
Hari Anak Nasional: Parade Seremoni di Atas Luka Seribu Bocah
Hari Anak Nasional: Panggung Retorika di Atas Tubuh Ringkih Generasi Emas
Ia mengingatkan pentingnya delapan fungsi keluarga. Sebuah daftar ideal yang kerap dikutip pejabat, meski realitas di lapangan menunjukkan sebagian besar keluarga masih sibuk memikirkan bagaimana membayar kontrakan dan membeli susu formula.
Undang-Undang Perlindungan Anak pun tak luput disebut. Sebuah aturan yang gemar dikutip saat seremoni, namun kerap absen saat anak-anak harus berhadapan dengan kekerasan, eksploitasi, atau pernikahan dini yang masih dianggap “adat”.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”