Bambang juga melempar peringatan sehat: hindari hamil di bawah usia 20 tahun dan di atas 35. Sebuah wejangan biopolitik yang entah bagaimana bisa diterapkan di tengah budaya patriarki, kemiskinan struktural, dan akses kesehatan yang timpang.
Kepala DPPKBPPPA, Yayan Waryana, menambahkan bahwa keluarga adalah unit terkecil bangsa pernyataan klise yang terus diputar ulang layaknya lagu wajib nasional. Ia menegaskan bahwa peringatan ini harus menggerakkan semua komponen: dari pemerintah hingga tukang gorengan di pojok kampung, untuk menyelamatkan keluarga dan anak dari diskriminasi dan kekerasan.
Namun, seperti biasa, “penyelamatan” itu belum melibatkan kebijakan konkret, hanya penilaian lomba Kampung KB, pemilihan Duta Genre, dan kunjungan ke Sekolah Lansia. Sebuah paket acara yang lebih cocok disebut parade administratif ketimbang transformasi sosial.
Tahun ini, tema Harganas berbunyi “Dari Keluarga Untuk Indonesia Maju”, sedangkan Hari Anak mengusung “Anak Hebat, Indonesia Kuat”. Slogan yang nyaris terdengar seperti merek susu bubuk, penuh semangat tapi tetap kosong jika tak disertai komitmen anggaran dan program nyata di luar panggung upacara.
Dengan semua kemeriahan ini, satu hal menjadi jelas: Garut tidak kekurangan pidato, hanya kekurangan keberanian untuk membongkar akar persoalan. Karena di luar pagar kantor dinas, keluarga-keluarga masih berjuang sendirian menghadapi krisis sosial sambil menanti peringatan berikutnya, dan pidato yang mungkin hanya ganti tema. (Suradi/Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”