“Kami ingin kasus ini berproses,” kata Diyah. Sebuah pernyataan normatif yang kerap mengendap di tumpukan berkas birokrasi. Karena di negeri ini, kasus perundungan seringkali berakhir dengan pelaku pindah kelas, korban pindah sekolah, dan publik disuguhi permintaan maaf tanpa rasa dari para pejabat berseragam lengkap.
Pihak sekolah? Hingga kini masih sibuk menjaga citra, takut akreditasi tergelincir oleh skandal. Tidak terdengar evaluasi mendalam, apalagi reformasi menyeluruh. Yang terdengar hanya kalimat penghibur klise: “Kami prihatin.”
Satu anak meninggal. Beberapa lainnya terluka secara psikis. Dan institusi pendidikan masih belum belajar bahwa pembiaran terhadap kekerasan verbal dan psikologis di lorong-lorong sekolah bisa menjadi peluru tak terlihat yang mematikan.
Di akhir cerita ini, kita tak hanya kehilangan seorang siswa. Kita kehilangan kompas moral dalam dunia pendidikan. SMAN 6 Garut, semoga tak lagi menjadi angka statistik dari sistem yang terlalu sering pura-pura tak melihat, tak mendengar, dan tak merasa.
Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami tekanan mental atau berpikir untuk mengakhiri hidup, hubungi bantuan profesional. Di Indonesia, Anda bisa menghubungi Yayasan Pulih di (021) 78842580. Karena satu nyawa remaja jauh lebih berharga dari seribu alasan pembenaran. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”