“Publik pun bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang remaja yang disebut “gagal akademik” sampai harus mengakhiri hidupnya tanpa ada yang bertanggung jawab secara moral?”
LOCUSONLINE, GARUT — Seorang pelajar 16 tahun asal Kecamatan Bayongbong, Garut, ditemukan tewas di rumahnya, diduga akibat tekanan psikologis dari perundungan di sekolah. Namun seperti biasa, penanganan kasus bullying yang berujung maut ini masih berjalan di tempat, meskipun sudah lebih dari seminggu berlalu sejak tragedi itu mencuat ke publik. Senin, 28 Juli 2025
Kepala Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan Wilayah XI Jawa Barat, Aang Karyana, menyampaikan bahwa “tim gabungan” yang kini menjadi istilah favorit kala tragedi terjadi masih menyelami kedalaman kasus ini. Seolah waktu bisa dibekukan demi menemukan simpul yang sebenarnya sudah berulang kali terpapar.
“Ini masih didalami oleh tim gabungan. BKD, pemerintah pusat, semua sudah turun tangan,” kata Aang, Jumat (25/7/2025), dengan nada optimis khas birokrasi: lambat tapi yakin.
Sementara itu, publik hanya bisa berharap tim gabungan tidak ikut tenggelam dalam kedalaman kasus yang mereka gali.
Korban disebut mengalami tekanan setelah dituding menjadi “pengkhianat kelas” karena melaporkan teman-temannya yang nge-vape ke guru BK. Bukannya didukung karena menjunjung aturan, korban justru ditarik ke ruang gelap perundungan, yang ironisnya dibantah oleh pihak sekolah.
Pihak sekolah menyatakan bahwa pelajar tersebut tidak naik kelas karena 7 dari 11 mata pelajaran nilainya jeblok. Narasi ini menjadi tameng utama untuk menyangkal dugaan perundungan. Bukan bullying yang jadi akar masalah, tapi nilai buruk yang dikemas sebagai fakta dingin dan birokratis.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”