LICUSONLINE, JAKARTA – Di panggung politik dan hukum tanah air, sebuah opera panjang kembali digelar. Kali ini lakonnya adalah Rancangan Undang-Undang KUHAP, yang dijanjikan akan membawa Indonesia ke gerbang peradaban hukum yang utuh jika bukan utopis. Senin, 28 Juli 2025
Mengambil inspirasi dari panggung global, disebutlah Gorbachev dengan Glasnost dan Perestroika dua kata Rusia yang sayangnya lebih sering dikutip pejabat kita daripada dipahami maknanya. Di sisi lain dunia, Soeharto memamerkan Deregulasi dan Debirokratisasi, dengan dalih menyambut globalisasi. Meski yang terjadi kemudian justru birokrasi tanpa regulasi, deregulasi tanpa deregulasi birokrasi.
Lalu, seperti biasa, akademisi mengomentari, ekonom menasihati, dan negara berjalan seperti biasa: penuh semangat reformasi tapi enggan menanggalkan mental kolonial.
Salah satu suara kritis muncul dari Sri Edi Swasono, ekonom yang berani mengingatkan bahwa deregulasi tanpa regulasi adalah seperti membuka pintu rumah tanpa memastikan siapa yang masuk dan bawa apa. Tapi suara waras seperti ini jarang laku dalam pasar politik yang hanya menjual jargon.
Kini, dengan penuh tekad dan catatan kaki panjang, RUU KUHAP terbaru dijanjikan sebagai fondasi negara hukum yang bukan hanya “equality before the law”, tapi equality before the structure that selectively enforces the law. Karena sebagaimana dikatakan oleh Friedman dan sering dikutip tanpa dibaca—sistem hukum harus terdiri dari substansi, struktur, dan budaya.
Masalahnya: substansi kita hebat di atas kertas, struktur kita canggih di PowerPoint, dan budaya hukum? Ah, masih percaya pada “titip perkara” dan “pengadilan opini publik”.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”