Baca Juga : Imah Alus, Rakyat Lusuh: Ketika Rumah Panggung Menari di Atas Statistik Kemiskinan
“Ini bukan sekadar koperasi berutang, tapi model baru penyaluran utang dengan jaminan publik,” sindir salah satu ekonom yang enggan disebut namanya.
Ketua koperasi cukup ajukan proposal, dapat restu kepala desa, lalu cairlah dana miliaran. Tapi siapa yang mengawasi? Siapa yang menjamin tidak akan terjadi kongkalikong lokal berkedok pembangunan ekonomi?
Dengan metode seperti ini, utang jadi mudah. Dan ketika desa kesulitan membayar, negara tinggal merogoh kocek dari dana transfer pusat. Ajaib bukan? Koperasi tumbuh, rakyat menanggung.
Sementara itu, semangat gotong royong dan pemberdayaan masyarakat yang dulu jadi roh koperasi, tampaknya kini terseret logika perbankan: kuantitas pinjaman lebih penting dari kualitas pembangunan.
Tapi siapa tahu, mungkin di suatu desa, dengan Rp3 miliar itu, akan berdiri sebuah apotek yang buka hanya jam 10 pagi – 12 siang, pergudangan berpendingin kosong, atau klinik yang lebih sering jadi tempat rapat.
Selamat datang era koperasi negara bersubsidi bunga dan bersyarat utang, di mana merah putih tak lagi jadi semangat perjuangan, melainkan label manis untuk skema kredit terencana.(Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”