“Terima kasih kepada DPRD yang membantu tugas kami dalam melindungi insan olahraga,” kata Suhandi penuh diplomasi.
Namun, jika perlindungan yang dimaksud masih sebatas pasal-pasal Raperda, sementara atlet harus patungan ongkos untuk ikut kejuaraan, maka ini bukan perlindungan, ini pengabaian yang dibungkus formalitas.
Sebagaimana kebiasaan birokrasi, pembahasan Raperda ini masih jauh dari tahap implementasi. Yang dibahas hari itu baru sebatas maksud dan tujuan. Belum menyentuh detail anggaran, peta masalah, mekanisme pengawasan, apalagi strategi peningkatan kualitas pelatih dan atlet.
Tanpa keberanian untuk membedah akar masalah secara gamblang dan membangun sistem pendanaan olahraga yang transparan, Raperda ini rawan berakhir sebagai produk hukum mati: indah di naskah, tak berguna di lapangan.
Jika ingin olahraga daerah maju, mulai dari kejujuran menyebut kelemahan, bukan sekadar mengagungkan mimpi lewat Raperda yang dibacakan dalam ruangan ber-AC.(Laela)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”