“Sengketa rumah doa di Garut berakhir tanpa peluru hanya stempel, segel, dan narasi manis soal “kesepakatan.” Siapa sangka harmoni bisa lahir dari pintu yang dikunci?”
LOCUSONLINE, GARUT — Pemerintah Kabupaten Garut tampaknya menemukan resep unik menjaga kerukunan umat beragama: hilangkan rumah doanya, hilang juga potensi keributannya. rabu, 13 Agustus 2025
Pada 2 Agustus 2025, Forkopicam Caringin menutup paksa Rumah Doa Imanuel, sekaligus mengusir penginjil Dani Natanael dan anaknya yang masih kelas tiga SD. Alasan resmi: “tidak punya izin.” Alasan tersirat: “tidak seperti mayoritas.”
Kepala Badan Kesbangpol Garut, Nurrodhin, menyebut ini hasil “kesepakatan” dan “sukarela.” Mungkin maksudnya, kalau warga keberatan, mereka bebas, keberatan di luar Kecamatan Caringin.
GAMKI langsung menegaskan, rumah doa di rumah pribadi tidak perlu izin sesuai SKB 2 Menteri. Tapi ya, SKB itu kan cuma aturan hukum; di lapangan ada hukum besi: izin mayoritas.
Baca Juga : “Garut Hebat” Digoyang dari Dalam: Janji Manis Syakur–Putri Mulai Pahit di Lidah Pendukung
Permadi Arya alias Abu Janda menanggapi dengan sinis di Instagram: “Masih pantas kah merayakan kemerdekaan kalau minoritas belum merdeka beribadah?” Pertanyaan itu ia mention langsung ke Presiden, Gubernur, sampai keponakan Presiden karena kadang, aduan HAM memang perlu jalur keluarga.
Kini, 20 umat Kristen di Caringin harus menempuh perjalanan tiga jam untuk beribadah. Mungkin Pemkab Garut akan mem-branding ini sebagai “wisata rohani plus olahraga kardio.”
Kemenag setempat menyerukan mediasi dan moderasi. Artinya, semua pihak diminta menahan diri… kecuali yang pegang palu segel.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”