“Dugaan pungutan liar ini menjadi ancaman serius terhadap akuntabilitas. Ini bukan sekadar setoran, tapi bentuk sistem pungli yang berkamuflase dalam program bantuan,” tegas Agus.
GGW mendesak agar Inspektorat Kabupaten Garut melakukan audit investigatif secara menyeluruh, serta menelusuri aliran dana dari dan ke pihak-pihak yang terlibat. Ia juga memperingatkan bahwa bukan tidak mungkin dana ini mengalir ke “pejabat yang lebih tinggi”.
Baca Juga : Alih Fungsi Lahan di Garut: Sawah Jadi Proyek, Tersangka Jadi Misteri, Pejabat Jadi Pelupa
Seorang pengelola sekolah di Garut, yang enggan disebutkan namanya, mengaku tak kuasa menolak permintaan setoran yang dibungkus dalam bentuk “komitmen” tak tertulis.
“Kalau tidak setor, kami khawatir tahun depan tidak dapat lagi,” ujarnya pelan. Jumlah setoran yang diminta disebut berkisar 15 persen dari total dana bantuan.
Agus Sugandi menyayangkan jika dana yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki sarana PAUD seperti membangun kelas baru atau membeli alat bermain edukatif malah dipotong untuk kepentingan oknum. “Ini merusak masa depan anak-anak kita. Pendidikan usia dini itu pondasi. Kalau pondasinya retak karena pungli, bagaimana bangunan besarnya nanti?”
Dana pusat boleh saja ditransfer langsung ke sekolah. Tapi jika yang terjadi di lapangan adalah ritual “setor dulu baru dapat lagi”, maka bantuan bukan lagi soal pembangunan pendidikan melainkan proyek loyalitas gelap. Kita tak sedang membangun PAUD, tapi membiarkan budaya pungli tumbuh sejak usia dini.(Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”