Tuntutan tersebut terdiri dari 17 poin utama dengan tenggat realisasi hingga 5 September 2025, ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, DPR, TNI, Polri, partai politik, serta kementerian ekonomi.
Baca Juga : Dari Jalanan ke Senayan: Aspirasi Purwakarta Jangan Cuma Jadi Map di Meja DPR
Sementara itu, ada 8 tuntutan tambahan yang memiliki tenggat lebih awal, yakni hingga 31 Agustus 2025. Poin-poin tersebut menyoroti isu strategis mulai dari reformasi DPR, pemberantasan korupsi, pembenahan partai politik, hingga evaluasi kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan.
Dalam 17 poin utama, beberapa sorotan di antaranya:
- Penarikan TNI dari pengamanan sipil dan penghentian kriminalisasi demonstran.
2. Pembentukan Tim Investigasi Independen kasus kekerasan aparat.
3. Transparansi anggaran DPR dan pembekuan kenaikan tunjangan.
4. Sanksi tegas bagi kader partai yang memicu kegaduhan publik.
5. Pembebasan demonstran yang ditahan serta penghentian kekerasan aparat.
6. Upaya darurat mencegah PHK massal dan menjamin upah layak.
7. Sedangkan dalam 8 tuntutan tambahan, masyarakat menekankan pada:
8. Reformasi besar-besaran di DPR, termasuk penghapusan fasilitas istimewa anggota dewan.
9. Penguatan fungsi oposisi politik.
10. Penyusunan reformasi perpajakan yang lebih adil.
11. Pengesahan RUU Perampasan Aset untuk memberantas korupsi.
12. Revisi UU Kepolisian dan UU TNI agar lebih profesional dan tidak menyentuh ranah sipil.
13. Penguatan Komnas HAM, Ombudsman, dan Kompolnas.
14. Evaluasi proyek strategis nasional dan kebijakan ketenagakerjaan, termasuk UU Cipta Kerja.
Fenomena 17+8 Tuntutan Rakyat menunjukkan pola baru dalam dinamika gerakan sipil di Indonesia. Aksi jalanan tidak lagi berdiri sendiri, melainkan diperkuat dengan strategi komunikasi digital yang masif. Warganet, influencer, hingga organisasi sipil bahu-membahu menjaga fokus isu agar tidak direduksi oleh narasi tandingan.(Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”