“Demokrasi Indonesia ini masih hidup apa udah tinggal kenangan manis? Soalnya, kritik makin dipelintir, aktivis makin diciduk, sementara elite masih adem-adem di kursi empuk.”
LOCUSONINE, JAKARTA – Lagi-lagi pasal karet dipakai kayak gelang karet murah meriah. Empat aktivis prodemokrasi Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Muzaffar Salim, dan Khariq Anhar resmi jadi tersangka setelah dituding memprovokasi pelajar dalam demonstrasi 25 dan 28 Agustus 2025.
Lucunya, sampai berita ini ditulis, bukti kuatnya masih belum nongol. Yang ada cuma status media sosial, ajakan turun ke jalan, plus keberanian ngomong yang ternyata lebih berbahaya dari senjata tajam di mata aparat.
Melansir berita Tempo, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, langsung ngegas. Menurutnya, polisi lagi-lagi memainkan pasal karet untuk membungkam suara kritis.
“Negara lebih hobi jadi satpam demokrasi ala orba daripada jadi pelayan rakyat,” sindir Usman.
Padahal, keempat aktivis ini dikenal rajin dampingin pelajar korban represif aparat. Mereka kasih edukasi hukum, advokasi, sampai jadi benteng moral. Eh, sama polisi malah ditempeli label “provokator”.
Kalau semua yang ngajak diskusi dianggap kriminal, siap-siap aja setengah isi kampus pindah ke sel.
Baca Juga : “17+8 Tuntutan Rakyat” Gaung dari Jalanan ke Media Sosial: Dari Influencer ke Organisasi Sipil
Kasus ini makin bikin publik bertanya: demokrasi Indonesia ini masih hidup apa udah tinggal kenangan manis? Soalnya, kritik makin dipelintir, aktivis makin diciduk, sementara elite masih adem-adem di kursi empuk.
Sekarang tinggal publik mau pilih diam jadi penonton, atau ikut jaga demokrasi sebelum beneran berubah jadi “democrazy”.(Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”