“Nepal bergejolak bukan karena “protes medsos”, tapi karena pejabat lupa satu hal: rakyat ingin keadilan, bukan sekadar tontonan kemewahan. Indonesia sebaiknya jangan menunggu bara jadi api.”
LOCUSONLINE, JAKARTA – Gelombang kemarahan rakyat Nepal pecah menjadi kericuhan. Akar masalahnya sederhana tapi menyesakkan: pejabat sibuk pamer kemewahan, sementara rakyat makin miskin, pengangguran merajalela, dan masa depan generasi muda tak jelas.
”Protes di media sosial cuma katalis. Frustrasi pada cara pengelolaan negara ini sudah lama jadi bara dalam sekam. Warga sangat marah,” kata jurnalis senior Nepal, Prateek Pradhan, dalam wawancara dengan Associated Press, Rabu (10/9/2025).
Nepal tengah menghadapi krisis kepercayaan. Tingkat pengangguran pemuda menembus lebih dari 30 persen, sementara biaya hidup naik tak terkendali. Banyak anak muda memilih migrasi ke luar negeri ketimbang bertahan di tanah airnya yang tak memberi harapan.
Pemerintah dianggap gagal menciptakan lapangan kerja dan lebih sibuk memperkaya lingkaran elite. Situasi ini membuat generasi muda merasa ditinggalkan.
”Kami ingin hidup layak di negeri sendiri, bukan jadi buruh migran terus-menerus,” kata Ramesh, seorang mahasiswa yang ikut turun ke jalan di Kathmandu.
Kondisi Nepal ini sebetulnya seperti kaca besar yang bisa memantulkan bayangan Indonesia. Meski ekonomi RI tumbuh, ironi tetap nyata: masih banyak pemuda terjebak pengangguran atau kerja serabutan tanpa kepastian. Di sisi lain, pejabat dan elite politik kerap tampil dengan gaya hidup mewah: pamer mobil mewah, pesta seremonial, hingga liburan glamor ke luar negeri.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”