“Jika rumah memang “mesin penggerak ekonomi”, seharusnya rakyat kecil bukan sekadar bahan bakar yang dibakar habis di dalamnya.”
LOCUSONLINE, GARUT – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menyebut sektor perumahan punya efek berganda luar biasa: setiap Rp1 juta yang ditanamkan, bisa melahirkan Rp1,9 juta bagi perekonomian. Indah di angka, gemuk di grafik.
Sayangnya, angka tidak selalu sejalan dengan realitas di lapangan. Backlog perumahan memang turun, dari 9,9 juta jadi 9,6 juta rumah tangga. Artinya, ratusan ribu keluarga kini bisa bernapas lega. Tapi jangan lupa, jutaan lainnya masih bertahan di rumah kontrakan sempit, menumpang di mertua, atau bahkan sekadar menggelar tikar di emperan kota.
Baca Juga : Hot News Jabar: Dapur MBG Disegel, Pasar Surade Terbakar, hingga Polemik Bansos Dicoret karena Judol
Program perumahan pemerintah memang dipuji sebagai motor ekonomi. Industri bahan bangunan bergerak, toko furnitur panen omzet, kontraktor bersyukur. Tapi siapa yang benar-benar sudah punya kunci rumah di tangan? Rakyat atau justru para pengembang besar yang mendapat porsi utama dari subsidi dan kredit murah?
Amalia menekankan pentingnya data tunggal sosial ekonomi. Bagus. Namun, data hanya memberi peta, bukan rumah. Di Jawa Barat, misalnya, ekonomi tumbuh 5,23 persen, kemiskinan turun 193 ribu orang, dan kontribusinya 12,8 persen ke ekonomi nasional. Tetapi angka-angka itu sering gagal menjawab pertanyaan sederhana: kenapa orang miskin masih antre bantuan kontrakan, bukan kunci rumah permanen?(Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”