“Apakah DPA ini sungguh instrumen hukum modern, atau sekadar doa pengampunan berjamaah bagi para penjahat kerah putih?”
Jakarta – Di tengah ramainya jargon pemberantasan korupsi, muncul wacana baru bernama Deferred Prosecution Agreement (DPA). Melansir berita mediakarya.id, Dr. Padlilah, S.H., M.H. (Dosen Universitas Nusaputra) menyenbut Konsep ini impor dari Amerika dan Inggris yang katanya bisa mempercepat penegakan hukum, memulihkan kerugian negara, dan memperbaiki tata kelola korporasi.
Bahasa sederhananya: “kalau ketahuan korupsi, balikin aja duitnya, nanti kasusnya bisa ditunda, bahkan dihentikan.”
Publik sontak teringat pola lama khas negeri +62: temuan – kembalikan – selesai. Bedanya, kali ini diberi stempel keren dalam bahasa Inggris agar tampak modern dan berkelas.
Para akademisi menyebut DPA bisa mengurangi beban pengadilan. Tapi masyarakat awam bertanya: “Kalau begitu, apa bedanya dengan nyolong ayam? Masa maling ayam dihukum, maling APBN cukup balikin hasil jarahannya?”
Kalau logika ini dipakai, korupsi bisa berubah jadi skema investasi berisiko rendah: ambil dulu, kalau ketahuan tinggal balikin, kalau nggak ketahuan ya jadi cuan.
Baca Juga : Trik Sulap Anggaran ala DPRD Purwakarta: “Temuan – Kembalikan – Stop”
Amerika Serikat dan Inggris memang sukses menggunakan DPA, tapi jangan lupa di sana ada pengawasan ketat dari hakim. Di Indonesia? Pengawasan seringkali jadi hiasan, sementara deal-deal gelap justru subur di ruang tertutup.
“Kalau tanpa dasar hukum dan kontrol yudisial yang kuat, DPA bisa berubah jadi Diskon Penjara Annual,” ujar Dr. Padlilah, S.H., M.H. dengan nada getir.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














