“Dengan 84 pasal yang diubah, RUU BUMN ini tampak lebih sibuk menambah aturan ketimbang menambal kebocoran. Sementara rakyat tetap menunggu: kapan BUMN yang katanya “milik negara” itu benar-benar hadir di dapur rumah tangga, bukan sekadar di gedung paripurna.”
LOCUSONLINE, JAKARTA – DPR RI bersama pemerintah sepakat mengubah wajah BUMN lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas UU Nomor 19 Tahun 2003. Sebanyak 84 pasal direvisi, seakan-akan membentuk “kitab suci” baru tata kelola perusahaan negara. Rakyat? Lagi-lagi hanya kebagian peran penonton setia.
Ketua Komisi VI DPR, Anggia Ermarini, dengan mantap mengetuk palu persetujuan.
“Semua fraksi menyetujui,” ujarnya, seolah menyatakan bahwa satu-satunya yang tak dimintai persetujuan hanyalah publik yang katanya akan “menikmati manfaat optimal”.
RUU ini melahirkan Badan Pengaturan BUMN (BPBUMN). Sebuah lembaga segar yang hadir bukan untuk jualan saham, melainkan menambah rak birokrasi di lemari pemerintahan. Nantinya, dividen saham seri A dwiwarna akan dikelola BPBUMN atas persetujuan Presiden.
Seolah-olah, masalah BUMN yang sering tekor bukan karena terlalu banyak tangan ikut mengaduk, melainkan karena tangan yang mengaduk belum punya nama lembaga yang keren.
Baca Juga : LokaModal: Solusi Pinjaman UMKM, Kalau Punya Aset Bisa, Kalau Tidak Silakan Tunggu Mujizat !
Revisi ini juga membawa kabar baik: menteri dan wakil menteri tak lagi boleh merangkap jabatan di BUMN. Putusan MK jadi dasar, tapi publik mafhum, selama ini kursi empuk memang lebih nyaman kalau bisa diduduki sekaligus.
Ada pula aturan baru soal kesetaraan gender. Perempuan kini bisa duduk di kursi direksi dan komisaris. Sebuah langkah maju, meski publik masih menunggu apakah kursi itu nyaman untuk bekerja serius, atau sekadar jadi dekorasi “keberagaman” dalam rapat tahunan.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














