“Benarkah nilai Pancasila masih jadi dasar pijakan kebijakan, atau hanya jadi mantra sakti untuk menutup ironi?”
LOCUSONLINE, GARUT – Setiap 1 Oktober, negara kembali menggelar ritual wajib bernama Hari Kesaktian Pancasila. Di kalender nasional, hari ini dipoles sebagai momentum sakral untuk mengenang ketangguhan ideologi negara. Namun, di lapangan, sering kali peringatan itu lebih terasa seperti parade kata-kata sakti yang hilang maknanya.
“Kesaktian” yang dimaksud tentu merujuk pada daya tahan Pancasila yang diklaim tak tergoyahkan meski pernah diguncang ideologi lain. Ironisnya, di luar upacara khidmat, nilai-nilai Pancasila justru sering direduksi jadi jargon musiman, sekadar barisan spanduk dan pidato pejabat.
Kilas balik sejarah, 30 September 1965 menjadi titik gelap: enam jenderal Angkatan Darat dan seorang perwira diculik dan dibunuh, lalu jasadnya ditemukan di sumur tua Lubang Buaya. Dari tragedi itu, lahirlah tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila, lewat Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967.
Namun, setelah lebih dari setengah abad, Pancasila yang katanya “sakti” kerap kewalahan menghadapi kenyataan: korupsi yang merajalela, ketimpangan sosial yang tajam, dan hukum yang sering tumpul ke atas. Sementara rakyat hanya disuguhi seremoni pagi hari, lengkap dengan bendera setengah tiang, pidato, dan doa bersama.
Di satu sisi, bangsa dipanggil untuk meneladani pengorbanan para pahlawan. Di sisi lain, publik kerap bertanya: benarkah nilai Pancasila masih jadi dasar pijakan kebijakan, atau hanya jadi mantra sakti untuk menutup ironi?( Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”