“Di negeri yang katanya demokratis, kadang yang dilempar bukan batu, melainkan suara. Sayangnya, suara itu sering dianggap barang bukti.”
LOCUSONLINE, MATARAM – Demokrasi di Nusa Tenggara Barat (NTB) tampaknya sedang ikut menjalani “masa penahanan perpanjangan.” Empat massa aksi yang ditangkap usai demonstrasi 30 Agustus 2025 kini resmi menjadi “tahanan politik tanpa gelar resmi,” sementara publik dibiarkan menebak-nebak siapa sebenarnya yang sedang diadili: para aktivis atau semangat kebebasan berekspresi.
Tim Penasehat Hukum (PH) Aliansi Mahasiswa dan Rakyat NTB gabungan LBH, organisasi mahasiswa, dan NGO lokal melakukan kunjungan resmi ke Dittahti Polda NTB, Jumat (3/10/2025), untuk mengecek kondisi para tahanan. Kunjungan ini berlangsung bak sidang inspeksi mendadak terhadap demokrasi yang kini digembok dalam jeruji prosedural.
“Ini bentuk kriminalisasi gerakan rakyat. Mereka bukan provokator, hanya rakyat biasa yang kebetulan melempar… harapan,” sindir Badarudin, salah satu kuasa hukum, dengan nada getir.
Keempat massa aksi itu telah mendekam sejak 2 September 2025. Sepekan pertama, mereka ditempatkan di ruang isolasi bukan karena COVID-19, melainkan karena dianggap “berpotensi mengguncang stabilitas.” Setelah itu, barulah mereka dipindahkan ke sel umum, seakan-akan opini publik sudah cukup “didinginkan.”
Menkeu Purbaya: “Kalau Mau Industri Rokok Mati, Siapkan Pabrik Mimpi untuk Para Penganggur”
Pengajuan penangguhan penahanan pun ditolak. Alasannya sederhana: karena bisa.
Megawati Iskandar Putri, satu dari 13 kuasa hukum yang terlibat, menyebut tuduhan terhadap keempatnya tidak sebanding dengan perbuatan mereka. “Pasal yang dipakai seolah mereka sedang menggulingkan negara. Padahal faktanya, hanya ada lemparan tanpa kerusakan berarti,” ujarnya. Ia menyebut penerapan Pasal 170 ayat (1) KUHP dan/atau 406 KUHP juncto Pasal 55 (1) KUHP sebagai bentuk pemidanaan yang lebih mirip cara menakuti gerakan kritis ketimbang menegakkan hukum.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”