Gubernur menegaskan, gerakan ini menjadi wadah donasi publik resmi untuk menjawab kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan dan kesehatan yang masih terbatas. Alias, ketika anggaran tak cukup, rakyat bisa menambal lubangnya sendiri.
“Melalui Gerakan Rereongan Poe Ibu ini, kami mengimbau ASN, siswa sekolah, dan masyarakat untuk menyisihkan Rp1.000 per hari sebagai bentuk kesetiakawanan sosial,” bunyi kutipan surat edaran.
Program ini sekilas terdengar seperti semangat gotong royong zaman dulu. Bedanya, kini ia hadir dalam bentuk “donasi mikro harian” dengan mekanisme birokrasi yang modern. Pemerintah bertindak sebagai penggerak, masyarakat sebagai donatur tetap.
Namun, bagi sebagian warga, muncul pertanyaan satir yang tak kalah tajam:
Jika masyarakat harus patungan untuk fungsi dasar negara, apa bedanya dengan iuran RT?
Bukankah pajak sudah menjadi bentuk gotong royong resmi yang dikelola negara?
Di media sosial, gerakan ini juga menuai berbagai respons mulai dari dukungan tulus hingga sindiran pedas. Ada yang menyebutnya “inovasi gotong royong digital”, ada pula yang menyebutnya “Pajak 2.0”.(Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”