“Boleh triplek, boleh seng, yang penting batas 15 meter itu terlihat,” ujar Asep, seolah bicara tentang garis suci yang baru ditemukan.
Pihak manajemen PT JIL, melalui Maemudin, menyatakan siap mengikuti aturan. “Itu tanah kami, HGB kami. Tapi karena ada aturan, ya kita ikuti. Kita pagar,” ujarnya. Kalimat itu terdengar seperti pengakuan tulus meski agak terlambat bahwa regulasi bukan hanya pajangan di dinding kantor pemerintahan.
Martius, dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk–Cisanggarung, mengingatkan bahwa batas sepadan sungai di kawasan perkotaan tanpa tanggul memang 15 meter. Ukurannya bukan hasil negosiasi, apalagi undian arisan.
“Kalau bertanggul itu 3 meter, kalau tidak ya 15 meter,” jelasnya tenang, seperti guru SD yang mengulang rumus matematika dasar kepada murid yang lupa membawa penggaris.
Di tengah rencana pagar triplek itu, ada satu bangunan yang “diselamatkan”: mushola di sisi timur. Asep menjelaskan, bangunan ibadah berbeda statusnya. “Kalau mushola itu fasilitas umum, bahkan di atas sungai pun boleh,” ujarnya.
Ironisnya, mushola menjadi satu-satunya bangunan yang memang berhak berdiri di zona suci sepadan sungai. Sementara gedung hotel dan mal yang megah harus mundur setidaknya secara simbolik ke belakang garis triplek.
Audiensi ini menindaklanjuti tuntutan GLMPK terhadap beberapa pelanggaran PT JIL, termasuk pengolahan limbah dan izin gardu listrik. Dua hal itu katanya sudah “beres”. Tinggal satu yang tersisa: batas sepadan sungai, yang entah bagaimana, selama bertahun-tahun, berhasil lolos dari perhatian.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”