Dadan Wandiansyah, anggota Komisi II DPRD Garut, mengatakan persoalan ini harus ditindaklanjuti. “Aturan itu general, bukan untuk satu objek saja,” ujarnya. Pernyataan ini terdengar sederhana, tapi di ruang publik Indonesia, keadilan sering baru terdengar tegas setelah ada kelompok masyarakat yang membawa meteran sendiri.
Selama ini, garis sepadan sungai seperti legenda urban: semua orang tahu ada, tapi jarang yang benar-benar mengukur. GLMPK akhirnya melakukannya. Hasilnya: 4,8 meter. Selisih 10,2 meter yang hilang entah ke mana mungkin terparkir di lahan belakang hotel.
BBWS sebenarnya sudah pernah merespons pada Maret 2025, menegaskan bahwa area itu masuk zona sepadan sungai dan harus dikosongkan. Namun, surat balasan itu seperti arus air kecil di antara dinding beton hotel: terdengar tapi tak menggoyahkan.
Jika dalam waktu satu minggu pagar tidak terpasang, masalah ini akan diserahkan ke Pemda Garut dan SKPD terkait. Langkah ini terdengar tegas. Namun publik tahu, banyak aturan lingkungan berakhir seperti triplek itu sendiri: berdiri gagah di minggu pertama, melapuk di musim hujan berikutnya.
Kasus ini mencerminkan satu hal: di negeri ini, penegakan tata ruang sering baru bergerak setelah masyarakat turun tangan. Regulasi sudah ada, tapi seringkali kalah pamor dari tembok beton dan plang hotel berbintang.
Sungai Cimanuk–Cisanggarung bukan sekadar aliran air. Ia adalah ruang publik, wilayah konservasi, sekaligus benteng alami. Tapi di tengah gempuran investasi, sungai kerap dianggap halaman belakang tempat menaruh parkiran, limbah, dan kadang, janji penataan ulang.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”