“Rangkap jabatan adalah pelanggaran. Dalam sistem yang berjalan, kadang hanya disebut “kelalaian administrasi, yang menarik, bukan Sana saja yang “rangkap”, tapi juga birokrasi yang rangkap fungsi: formalitas dan kealpaan.”
LOCUSONLINE, GARUT – Ribuan calon Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Kementerian Sosial Formasi 2024 resmi dilantik secara nasional, Jumat (3/10/2025).
Acara berlangsung khidmat melalui Zoom, tapi di Garut, layar laptop tiba-tiba menyajikan satu kejutan: seorang kepala desa aktif ikut dilantik jadi ASN PPPK.
Nama itu adalah Sana Suntana, Kepala Desa Cipancar Kecamatan Leles, yang juga menjabat sebagai Tenaga Kerja Sosial Kecamatan (TKSK). Seolah belum cukup sibuk mengurus desa dan sosial, kini ia menambah satu jabatan lagi: ASN PPPK.
Sayangnya, langkah multitasking ini bukan inovasi pelayanan publik, tapi potensi pelanggaran aturan negara. Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014, UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, PP 43/2014 (jo PP 11/2019), Permendagri 110/2016, dan SE BKN 4/SE/XI/2019 sudah tegas: kepala desa dilarang rangkap jabatan, apalagi jabatan yang sumber gajinya sama-sama dari negara.
Tapi sepertinya undang-undang hanya berlaku untuk dibacakan di rapat, bukan untuk dibaca saat pendaftaran PPPK.
Dalam data, Sana terdaftar sebagai peserta PPPK dengan nomor 24301430810001620.
Nomor itu resmi, bukan nomor antrean warung sembako. Artinya, kelulusannya bukan salah kirim email.
Padahal aturan jelas: jika seorang kepala desa menjadi ASN PPPK, ia harus memilih salah satu jabatan. Kalau tidak, sanksi mengintai mulai dari pemberhentian hingga cibiran publik.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”