Sehari sebelumnya, Nur Khotimah dari Tim Penyelamat Demokrasi mengumumkan bahwa dukungan penjamin datang dari berbagai arah: kampus, pesantren, tokoh agama, kepala desa, LSM, hingga lurah yang mungkin lebih sering menandatangani surat pengantar nikah daripada surat penangguhan tahanan.
“Masak tiang bendera dan neon box lebih berharga dari nyawa Affan? Pelaku minta maaf, langsung selesai. Tapi empat anak muda yang teriak keadilan harus menginap di sel,” ujar Nur, sambil menampar absurditas dengan kalimat telak.
Baca Juga : Pemprov Jabar Diminta Audit Proyek Strategis TPPAS Nambo dan Legoknangka yang Mangkrak
Empat orang itu ditahan sejak 2 September 2025. Tiga masih pelajar, satu bekerja. Dua kali surat penangguhan diajukan 19 dan 26 September dengan 13 advokat penjamin. Jawaban dari Polda NTB? Hening, sehening sidang paripurna DPR saat pembahasan pasal sensitif.
Aliansi, keluarga, dan tim hukum sudah berdialog dengan Kapolda, Gubernur, dan DPRD. Mereka juga bertemu Wakil Ketua Komnas Perempuan. Namun, hasilnya seperti menekan tombol lift yang mati: lampunya menyala, tapi pintu tak kunjung terbuka.
“Seluruh prosedur hukum sudah ditempuh, tapi Polda NTB mengabaikan permohonan kami,” kata Megawati Iskandar Putri dari tim hukum. Maka, jalan yang tersisa adalah solidaritas publik karena suara ramai kadang lebih didengar daripada pasal sunyi.
Aliansi Mahasiswa dan Rakyat NTB menilai penahanan empat massa aksi ini janggal dan tidak proporsional. Mereka bukan pelaku perusakan utama bahkan diduga hanya pion dari provokator berpakaian serba hitam yang sampai kini misterius. Polisi tampak lebih cepat mengidentifikasi poster mahasiswa daripada pelaku sebenarnya.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”