Dirut RSUD Bayu Asih, dr. Tri Muhammad Hani, MARS., M.H.Kes., mengungkapkan kebanggaannya. Rumah sakit yang berdiri sejak 1930 itu kini menjadi rujukan utama di Purwakarta. Dulu, mungkin pasien datang naik delman; kini, mereka datang dengan aplikasi antrean online yang terkadang lupa memberi notifikasi.
“Sejarah panjang ini menjadi motivasi untuk terus berinovasi,” ujar dr. Tri. Inovasi yang dimaksud, semoga bukan sekadar menambah loket pendaftaran.
Ia berharap peringatan 95 tahun ini bukan hanya ajang syukur, tetapi momentum menulis babak baru menuju satu abad pelayanan. Babak baru yang idealnya berisi sistem cepat tanggap, bukan cepat bosan menunggu.
Acara ini juga menghadirkan penceramah kondang, Nana Gerhana, yang mengingatkan pentingnya ketulusan dan kesabaran dalam tugas kemanusiaan. Pesan spiritual itu menggema di ruangan menyatu dengan suara AC dan kipas angin yang bekerja keras.
Para purna tugas menerima penghargaan dan bingkisan. Suasana haru pun menyeruak, seperti adegan akhir sinetron Ramadan. Mereka yang pernah menjadi saksi pasien melahirkan, pasien marah-marah, dan pasien menunggu dokter yang “sebentar lagi datang”, kini dilepas dengan hormat.
RSUD Bayu Asih telah melewati kolonialisme, krisis ekonomi, hingga pandemi. Ia menjadi saksi bisu masyarakat yang lahir, sembuh, atau sekadar menunggu. Dalam usia 95 tahun, rumah sakit ini berdiri sebagai institusi kesehatan, institusi sejarah, dan kadang institusi kesabaran.
Kini, tantangan bukan lagi soal jumlah tempat tidur atau suntikan, tapi kecepatan, empati, dan kejelasan layanan. Karena sejarah panjang yang megah akan terasa hampa, jika pasien tetap menunggu terlalu lama di kursi plastik biru. (Laela)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”