Bank Indonesia pun buka suara. Kepala Departemen Komunikasi Ramdan Denny Prakoso menjelaskan, data itu berasal dari laporan bulanan bank-bank pelapor.
“Data ini bukan gosip, tapi laporan resmi,” tegasnya.
Namun BI tetap menjaga kesopanan. Tidak menuding, tidak menyindir, hanya mempublikasikan di laman statistik seperti orang tua yang sudah tahu anaknya malas, tapi masih berharap dia sadar sendiri.
Ironisnya, di tengah tumpukan uang itu, banyak daerah masih sibuk mencari dana perbaikan jalan, jembatan, atau sekolah rusak. Rakyat mendorong pembangunan, pemerintah mendorong rapat koordinasi, hasilnya yang maju hanya saldo bank.
Bahkan menurut data BI, ada daerah kecil seperti Kota Banjarbaru dengan simpanan Rp5,17 triliun, mengalahkan provinsi besar. Mungkin karena lebih efisien: tidak perlu pembangunan, cukup tabungan.
Purbaya menegaskan, dana pemerintah tidak boleh dikelola untuk mengejar bunga deposito. Tapi larangan itu seperti peraturan lalu lintas di kampung semua tahu, semua langgar, tapi semua saling senyum.
Ia pun berpesan agar kepala daerah “mengelola dana dengan bijak.”
Tapi kata “bijak” tampaknya kini diartikan sebagai “biar aman, simpan saja dulu.”
Rp234 triliun uang daerah sedang tidur lelap di bank mungkin nanti dibangunkan oleh inflasi atau oleh menteri yang lebih galak.
Sementara itu, rakyat di pelosok masih menunggu jalan diperbaiki, sekolah direnovasi, dan rumah sakit direnovasi semua dengan satu harapan: semoga uang di bank itu cepat bangun, sebelum negara ini benar-benar bangkrut karena terlalu sabar. (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














