“Aturan sudah ada, hukuman sudah tertulis, bahkan efek jera sudah direncanakan. Hanya saja, yang belum dieksekusi adalah niat untuk benar-benar menegakkan hukum.”
LOCUSONLINE, GARUT – Gerbang Literasi Masyarakat Perjuangkan Keadilan (GLMPK) tampaknya kembali mengingatkan aparat hukum bahwa undang-undang bukan hanya pajangan di rak kantor. Sekretaris GLMPK, Ridwan Kurniawan, dengan nada setengah putus asa dan setengah geli, menyoroti dugaan alih fungsi lahan di Garut yang lebih subur dari padi karena ditanami kepentingan politik dan modal besar.
Kasus yang sudah mereka laporkan ke Polda Jawa Barat ini menyinggung nama salah satu pengusaha wisata yang, kebetulan (atau mungkin tak kebetulan), juga dikenal sebagai tim sukses pasangan Abdusy Syakur Amin dan L. Putri Karlina yang kini, kebetulan juga, menjabat sebagai Bupati dan Wakil Bupati Garut periode 2024–2029. Sebuah siklus keberuntungan yang patut diteliti LIPI.
“Kami cuma ingin Polda Jabar menegakkan hukum di Salegar, Desa Sukawening, bukan menegakkan meja rapat,” sindir Ridwan, Senin (21/10/2025).
Menurutnya, pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sudah jelas. Tapi ya, hukum di negeri ini kadang seperti sinetron: dramanya panjang, ending-nya tak jelas, dan aktornya sering gonta-ganti peran.
“Percuma undang-undang ditulis indah, kalau pelaksananya gagap hukum dan takut sama yang punya tambang atau taman,” ujarnya.
Ridwan menilai, aparat penegak hukum terkesan lamban mungkin karena sedang sibuk menimbang-nimbang antara menegakkan aturan atau menjaga relasi. Sementara Pemda Garut, kata dia, memilih posisi aman: di bawah meja, berdampingan dengan prinsip yang tertinggal di lemari arsip.
“Penegak Perda-nya malah ngumpet kayak anak TK pas disuruh maju ke depan kelas. GLMPK sudah lapor ke Polda, tapi kalau pelakunya orang besar, penindakan pasti jalan di tempat. Alasannya klasik: masih dikaji,” sindirnya lagi.
PT. JIL Tidak Tepati Janji Batasi Sempadan Sungai, GLMPK Siap Aksi Bawa Keranda Mayat Ke Dinas PUPR
Ridwan juga mengingatkan bahwa Perda Nomor 6 Tahun 2019 sebenarnya sudah cukup jelas: pelanggaran ruang wilayah bisa disanksi, pelaku usaha bisa ditindak, dan Satpol PP punya kewenangan untuk menertibkan. Hanya saja, di Garut, tampaknya Pasal 86 dan 89 itu lebih sering dibacakan di rapat seremonial ketimbang dijalankan di lapangan.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”















