Dari laporan yang dipaparkan tim kuasa hukum, proses hukum ini seperti skripsi yang ditulis buru-buru sebelum deadline:
SPDP tanggal 3 September, tapi laporan diterima 30 Agustus semacam “masa lalu yang lebih cepat dari masa kini.”
Isolasi tahanan sembilan hari tanpa akses kuasa hukum mungkin bagian dari program spiritual detox.
Penyidikan tambahan tanpa pemberitahuan, seolah hukum punya mode “update otomatis”.
“Semua ini bikin kami bertanya: ini penyidikan atau escape room?” sindir Badarudin, salah satu pengacara yang kini lebih hafal Pasal KUHAP daripada tanggal gajian.
Aliansi Mahasiswa dan Rakyat NTB menilai, apa yang menimpa empat tahanan itu bukan sekadar kasus, tapi koreografi kriminalisasi. Barang bukti yang diperbaiki polisi sendiri, permohonan penangguhan penahanan yang tak direspons, dan sidang yang muncul seperti hantu semua menambah kesan bahwa logika hukum kini sedang magang di alam mimpi.
Mereka hanya menuntut tiga hal:
- Bebaskan empat tahanan politik tanpa syarat.
- Tindak lanjuti permohonan penangguhan penahanan dan Restorative Justice.
- Usut provokator yang memicu kericuhan kalau memang keberanian itu belum termasuk pelanggaran.
Pertemuan di Café Tuwa Kawa akhirnya ditutup dengan satu kalimat yang menggantung di udara:
“Hukum seharusnya melindungi rakyat, bukan menakuti mereka.”
Tapi di NTB, mungkin hukum sedang sibuk, mungkin juga keadilan sedang cuti panjang dan belum tahu kapan pulang.(Laela)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














