“Masyarakat Garut masih menunggu keajaiban: entah keadilan datang, atau setidaknya ada kabar bahwa berkasnya sudah pindah dari meja kopi ke meja kerja penyidik.”
LOCUSONLINE, GARUT – Tragedi “hajatan maut” di Pendopo Garut yang menewaskan tiga orang termasuk seorang polisi ternyata masih belum naik kelas dari status “penyelidikan.” Sudah berbulan-bulan, tapi nasib kasus ini seperti tamu undangan yang tersesat di parkiran: tidak tahu harus masuk atau pulang.
Puluhan ulama, tokoh masyarakat, dan aktivis Garut pun akhirnya datang ke DPRD dan Polres, bukan untuk kondangan jilid dua, tapi untuk menagih kejelasan hukum yang tampaknya lebih lambat dari prosesi arak-arakan manten.
Aktivis kebijakan publik, Asep Muhidin, menilai kasus ini sebetulnya sederhana kalau saja tidak ikut diseret ke pelaminan politik.
“Secara hukum, jelas siapa yang harus bertanggung jawab. Tapi kalau sudah dicampur bumbu politik, yang sederhana bisa jadi tumpeng tujuh tingkat,” kata Asep, Selasa (4/11/2025).
Menurutnya, tragedi di Pendopo saat pesta pernikahan Putri Karlina wakil bupati Garut dan anak Gubernur Dedi Mulyadi bukan sekadar soal hukum, tapi soal siapa yang lebih berani menyentuh “tangan tak terlihat” di balik gerbang yang ditutup.
“Cari saja siapa yang perintahkan gerbang ditutup, selesai. Tapi kalau yang diperintah kebetulan punya nama panjang dan jabatan tinggi, ya, penyelidikannya ikut mogok makan,” sindirnya.
Baca Juga : Maca Kata Jeung Makna: Festival Literasi Purwakarta 2025 Jadi Pesta Akal dan Rasa
Asep juga mengingatkan, uang santunan untuk keluarga korban bukan tiket keluar dari jerat pidana. “Nyawa manusia bukan harga diskon di katalog bantuan sosial,” ujarnya.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














