“Tujuan utamanya meningkatkan kapasitas daerah,” kata Abud.
Istilah “kapasitas” ini menarik. Dalam konteks kebencanaan, sering diartikan sebagai kesiapan sumber daya, logistik, dan koordinasi. Tapi di lapangan, “kapasitas” kadang cuma berarti tenda yang sudah sobek, genset yang ngadat, dan toa yang kehilangan baterai. Kapasitas mental masyarakat justru lebih tinggi: sabar, tabah, dan cepat gotong royong setelah bencana sayangnya, bukan sebelum.
Semua unsur hadir dalam apel: TNI, Polri, BPBD, SKPD, BUMN, media, relawan, sampai pelaku usaha. Lengkap. Semua tampak satu suara: “Garut siap menghadapi bencana.”
Tapi pertanyaannya: siap dalam arti apa? Siap bertindak atau siap difoto? Karena sering kali, kesiapsiagaan kita berakhir di baliho dan dokumentasi kegiatan, bukan di lapangan ketika debit air naik tengah malam.
Kata “siaga” itu keren, tapi berbahaya kalau hanya jadi slogan. Karena budaya siaga yang sejati tak lahir dari apel seremonial, tapi dari kesadaran kolektif. Dari warga yang tahu kapan harus evakuasi tanpa menunggu instruksi, dari pejabat yang siap turun tanpa nunggu surat tugas, dan dari sistem yang bekerja bahkan saat kamera media sudah pulang.
Budaya panik mendadak adalah penyakit lama kita. Baru repot ketika sirene berbunyi, baru sadar pentingnya koordinasi setelah komunikasi terputus. Padahal, ketangguhan bencana tidak dibangun dalam sehari. Ia hasil dari latihan kecil, dari kebiasaan membuang sampah benar, dari disiplin tak membangun rumah di bantaran sungai.
Kapolres menutup apel dengan ajakan, “Mari kita bangun budaya tanggap, tangguh, dan gotong royong.” Ajakan yang sederhana, tapi seharusnya jadi prinsip hidup, bukan jargon upacara. Karena bencana tak menunggu jam kerja, dan alam tak peduli siapa pejabat yang sedang menjabat.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














