“Bagaimana mau merdeka memutus perkara kalau keluar rumah saja harus tengok kanan kiri takut diikuti?” keluh seorang hakim, yang langsung meminta identitasnya dirahasiakan karena ya karena alasan keamanan itu sendiri.
Melihat U.S. Marshals Service di Amerika Serikat, rombongan MA sempat terpukau. Setiap orang yang masuk gedung pengadilan Amerika harus melewati pemeriksaan berlapis. Petugas bersenjata berjaga ketat. Bahkan mobil boks yang sekadar berhenti sejenak langsung diusir seperti tamu yang datang tanpa undangan.
Baca Juga : Purbaya: “Saya Baru Tahu, Menteri Keuangan Itu Lumayan Berkuasa”
Sementara di Indonesia? Pemeriksaan hanya ketat ketika sidang perkara artis, kasus viral, atau saat wartawan banyak hadir. Di hari-hari biasa, keamanan ruang sidang lebih mirip pos ronda: penting, tapi bergantung siapa yang jaga.
UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak mengatur Polisi Khusus Pengadilan. UU Kepolisian 2002 hanya mengakui kepolisian khusus di sektor lain. Lembaga peradilan? Belum. Kondisi ini menimbulkan ironi nasional: Para penjaga keadilan justru tidak dijaga secara adil.
Menurut pakar yang biasanya muncul ketika negara bingung setidaknya ada lima alasan:
- Hakim butuh rasa aman.
- Ruang sidang butuh ketertiban.
- Ancaman fisik dan psikologis makin nyata.
- Wibawa pengadilan masih butuh peningkatan (atau restorasi total).
- Masyarakat perlu percaya bahwa hukum bukan hanya slogan baliho.
“Tanpa perlindungan hakim, hukum hanya jadi teori yang dipajang di dinding,” kata seorang akademisi yang sudah lama lelah memberi masukan.
Ancaman terhadap hakim lebih sering terjadi di luar kantor. Dari rumah dibakar, kendaraan diintai, hingga keluarga ikut diteror.
Karena itu, perlindungan harus menyeluruh. Tidak bisa lagi hanya mengandalkan satpam yang kadang menghilang saat hujan deras.
Model perlindungan ideal mencakup:

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














