LOCUSONLINE, GARUT – Malam pergantian tahun 1926 di Bandung bukan sekadar pesta kembang api dan instrumen gamelan yang dipaksa bersaing dengan bising terompet. Di dua bioskop paling bergengsi Elita dan Oriental publik Hindia Belanda disuguhi tontonan yang tak pernah mereka lihat: orang pribumi tampil sebagai tokoh utama, bukan sebagai figuran yang lewat sambil membawa bakul.
Film itu berjudul Loetoeng Kasaroeng, produksi NV Java Film Company. Hitam putih, tanpa suara, pencahayaan seadanya. Tapi untuk zamannya, film ini begitu revolusioner terutama karena kehadiran pribumi di layar tidak otomatis memicu protes pejabat kolonial.
Sebelum film ini, bioskop Hindia Belanda lebih akrab dengan dokumenter tanpa alur yang menampilkan Belanda sedang berparade, Belanda sedang berlibur, dan Belanda sedang menjadi Belanda. Tiket mahal, penontonnya Eropa semua. Rakyat pribumi cukup jadi latar eksotis.
Baru ketika modal mulai seret dan penonton mulai bosan melihat parade kuda-kuda kulit putih, industri film lokal tiba-tiba ingat bahwa Hindia punya masyarakat yang bisa dijadikan pasar. Lahirlah film Loetoeng Kasaroeng, dengan cerita rakyat Sunda yang tak dipahami siapa pun kecuali orang Sunda.
Bupati Bandung Jadi Produser Kehormatan
Keberanian produksi film ini bukan muncul dari kantong sutradara Belanda Heuveldorp semata, tetapi dari dukungan R.A.A. Wiranatakusumah V, Bupati Bandung. Ia bukan hanya membuka izin syuting, tapi memilih sendiri para pemain.
Sinematografer G. Krugers bertugas mengabadikan para ningrat Bandung yang untuk pertama kalinya berakting bukan sebagai penari latar di pesta kolonial.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














