LOCUSONLINE, JAKARTA – Fenomena pasangan tinggal bareng tanpa buku nikah yang di kampung diberi nama manis kumpul kebo kian meramaikan peta sosial Indonesia. Praktik yang dulu dianggap “rahasia dapur” kini sudah naik pangkat jadi “fenomena”, lengkap dengan data, stigma, dan debat moral tahunan.
Menurut laporan The Conversation, anak muda zaman sekarang makin malas repot urusan pelaminan. Bagi sebagian, pernikahan terasa seperti festival administrasi: biaya mahal, aturan berlapis, dan drama keluarga yang datang sepaket. Karena itu, kumpul kebo dianggap lebih “murni” persis seperti label organik, tapi untuk hubungan manusia.
Di banyak wilayah Asia yang menjunjung tradisi, budaya, dan omongan tetangga, fenomena ini masih dianggap tabu. Tapi seperti biasa, tabu tidak berarti terhenti.
Timur Indonesia Jadi Layar Utama
Riset BRIN bertajuk The Untold Story of Cohabitation menemukan bahwa pasangan kumpul kebo lebih banyak ditemukan di wilayah Timur, terutama yang penduduknya mayoritas non-Muslim.
Peneliti Yulinda Nurul Aini menyebut tiga alasan utama:
- biaya nikah dan hidup makin menyesakkan dada,
- cerai resmi lebih ribet dari ujian PNS,
- penerimaan sosial lumayan longgar.
Data BKKBN 2021 di Manado menunjukkan 0,6 persen penduduk melakukan kohabitasi. Profilnya mayoritas: muda, lulusan SMA ke bawah, kerja informal, dan beberapa sedang hamil saat disurvei. Angka kecil, tapi ramai dibahas karena ya, topiknya seru.
Baca Juga : Hakim Diburu, Keadilan Diintai: Mendesak Hadirnya Polisi Khusus Pengadilan di Indonesia
Efek Samping: Perempuan dan Anak Kena Imbas Lebih Berat
Menurut Yulinda, dampak negatif paling banyak jatuh ke perempuan dan anak. Tanpa pernikahan yang dilindungi hukum, tidak ada mekanisme nafkah, waris, atau hak asuh.
Konflik pun bukan hal asing:
- 69,1% sering bertengkar,
- 0,62% pisah ranjang atau pisah rumah,
- 0,26% mengalami KDRT.
Angka-angka kecil, tapi tetap meninggalkan jejak perih.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














