“Film boleh selesai dalam 30 menit, tapi pelestarian budaya tidak boleh selesai pada saat lampu ruangan dinyalakan kembali.”
LOCUSONLINE, GARUT – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Garut kembali menggelar ritual tahunan yang paling aman dari kritik anggaran: pemutaran film dokumenter. Kali ini berjudul Gunung Nagara, diputar di Auditorium Dispusip Garut, Selasa (11/11/2025).
Acara berlangsung khidmat, lengkap dengan pernyataan serius tentang pelestarian budaya meskipun kondisi di lapangan sering kali lebih mirip konten before-after yang berhenti di tahap before saja.
Kepala Bidang Kebudayaan Disparbud, Wawan Somarwan, menyampaikan bahwa film ini sangat membantu tugas Disparbud dalam mengarsipkan budaya. Meski belum jelas apakah arsip itu akan berakhir menjadi referensi, pajangan, atau sekadar file besar yang tidak pernah dibuka lagi.
“Alhamdulillah kita bisa membuat dokumenter Gunung Nagara,” ujar Wawan, menandai bahwa setidaknya file tersebut kini resmi masuk folder “Kebudayaan 2025”.
Gunung Nagara, katanya, memiliki tradisi Nepus, kesenian Rudat, dan pembuatan perkakas. Disparbud berjanji terus memberi dukungan, termasuk hibah alat dan kostum. Belum disebutkan apakah Gunung Nagara juga akan diberi kostum.
Baca Juga :
Loetoeng Kasaroeng: Saat Pribumi Pertama Kali Muncul di Layar
Pembina Dewan Kebudayaan Garut, Rudy Gunawan, memantik minat hadirin dengan menyebut Gunung Nagara “mungkin lebih tua dari Prabu Siliwangi” klaim yang cocok untuk sinopsis film epik tapi tetap sulit diverifikasi.
Ia menyoroti temuan pohon ratusan tahun dan batu nisan bertulisan Arab gundul, menandakan jejak peradaban Islam kuno. Penelitian ini, katanya, adalah bagian dari amanat UU Pemajuan Kebudayaan. Sejauh ini, amanat tersebut masih rajin dipatuhi dalam bentuk seminar, dokumenter, dan sambutan.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














