Total transaksi mencapai Rp2,6 miliar lebih banyak dari biaya membangun ruang rawat baru, tapi tampaknya dianggap investasi politik jangka panjang.
Pada malam sebelum OTT, drama mencapai puncaknya. Uang Rp500 juta dicairkan di Bank Jatim oleh Indah, lalu dikirim lewat Ninik, adik ipar sang bupati. Transaksi itu direkam dengan gaya milenial: foto, klik, kirim. Laporan diterima. Bukti digital kekuasaan yang akhirnya berujung borgol.
Ironisnya, Ninik dan Indah tidak dijerat hukum. Status mereka “hanya” pembawa pesan meski pesan itu berbentuk koper tebal.
Sementara adik kandung Sugiri, Elly Widodo, juga kebagian peran perantara pada proyek RSUD tahun 2024. Di tangannya, uang fee proyek senilai Rp1,4 miliar mengalir dengan rapi.
Sugiri, kata KPK, “tidak pernah menerima uang secara langsung.”
Tentu di republik ini, tangan pejabat kerap bersih karena banyak tangan lain yang bersedia kotor untuknya.
Kini, empat orang resmi jadi tersangka: Bupati Sugiri, Sekda Agus Pramono, Direktur RSUD Yunus Mahatma, dan rekanan proyek Sucipto. Tapi dalam teater korupsi ini, para perempuan perantara tetap di belakang layar tanpa status, tanpa jeruji, hanya nama yang disebut pelan di Berita Acara Pemeriksaan.
Kasus Ponorogo ini menegaskan satu hal: korupsi bukan lagi tindak kejahatan tunggal, tapi kerja gotong royong yang penuh perasaan. Ada rasa takut kehilangan jabatan, rasa hormat pada keluarga, dan tentu saja rasa percaya pada amplop.
KPK boleh membongkar jaringnya, tapi di Ponorogo, kisahnya lebih mirip sinetron moral: cinta, kekuasaan, dan uang semuanya berputar di satu meja, sambil menunggu siapa yang akan tersandung lebih dulu.*****

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














