BACA JUGA : Perempuan di Tengah Lumpur Kekuasaan: Jejak Halus di Kasus Bupati Ponorogo
Namun, niat mulia itu ditafsirkan berbeda. Kesepakatan yang dibuat terbuka dalam rapat resmi justru dianggap sebagai pungutan liar. Hasilnya: keduanya divonis bersalah hingga tingkat kasasi, diberhentikan sebagai ASN, dan kehilangan status yang mereka bangun puluhan tahun.
Kasus ini menimbulkan gelombang simpati luas. Dari PGRI hingga DPRD Luwu Utara, semua mendesak keadilan ditegakkan dengan nurani, bukan sekadar pasal.
Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, bahkan menyebut kasus ini sebagai “ironi di dunia pendidikan” ketika guru dihukum bukan karena korupsi, tapi karena empati.
Seorang wali murid, Akrama, menegaskan, tak ada unsur paksaan dalam iuran itu.
“Waktu itu saya hadir. Semua orangtua sepakat membantu guru honorer yang tidak ter-cover dana BOSP,” ujarnya, 11 November 2025.
Kini, dengan keputusan Presiden Prabowo, nama baik Rasnal dan Abdul Muis resmi dipulihkan. Bukan hanya status ASN yang dikembalikan, tapi juga harga diri yang sempat dilucuti oleh tafsir hukum yang kering.
Rehabilitasi ini seolah menjadi tamparan bagi sistem yang sering lupa: hukum tanpa hati hanyalah administrasi tanpa arah.
Dua guru itu mungkin hanya ingin menolong. Tapi kasus mereka mengajarkan satu hal di negeri ini, niat baik pun bisa tersandung pasal, sampai nurani negara ikut bicara.*****

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














