LOCUSONLINE, PURWAKARTA – Mimbar Sarasehan KTNA Jabar 2025 ditutup dengan suasana yang kalau boleh jujur lebih mirip rapat motivasi ketimbang bedah masalah pertanian. Para pejabat hadir, pidato mengalir, data ekonomi ditebar, dan harapan kembali ditinggikan. PR-nya? Tetap segede bukit.
Di Kebon Istimewa, Kampung Margaluyu, Kiarapedes, Kamis (13/11/2025), acara penutupan yang mestinya jadi panggung solusi malah kembali mengingatkan publik bahwa nilai tukar petani (NTP) Jawa Barat masih “di bawah standar nasional plus sedikit bonus kekecewaan.”
Lusi Lesminingwati, Staf Ahli Gubernur Jabar yang mewakili sang gubernur, bicara blak-blakan: NTP Jabar masih mandek di angka 116, kalah dari nasional yang ada di 120.
“Petani jangan cuma surplus hasil panen, tapi juga surplus bahagia,” katanya, menyemangati, meski data yang ia bawa lumayan bikin meringis.
Lusi memaparkan NTP dengan rumus yang kalau dipikir-pikir lebih rumit dari relationship toxic: bandingkan hasil panen dengan biaya produksi, lalu cek lagi tingkat konsumsi petani. Hasilnya? NTP Jabar masih kurang vitamin semangat.
Ia juga menyebut gini ratio pedesaan Jabar 0,32, cukup merata setidaknya untuk merata dalam kategori “sama-sama belum sejahtera.”
Tak lupa, ia mengingatkan bahwa pertanian tak cukup dinilai dari uang. Ada nilai sosial, ekologis, dan kultural. Intinya: petani bukan cuma tukang panen, tapi “penjaga bumi.” Status keren, gaji belum tentu.
Pemprov Jabar, katanya, bakal terus mendorong hilirisasi. Supaya petani tak lagi cuma jual bahan mentah, tapi bisa naik kelas jadi pebisnis kecil-kecilan yang dapat nilai tambah. Masalahnya? Modal tetap saja jadi kata paling menakutkan.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














