GARUT – Pemberdayaan subjek reforma agraria pasca redistribusi tanah adalah serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan subjek reforma agraria (penerima tanah) setelah mereka menerima tanah melalui peningkatan kapasitas, akses permodalan dan penataan akses ekonomi berbasis kluster. Tujuannya adalah menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan yang berkelanjutan dengan mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatan tanah. 
Namun ternyata, fakta-fakta di lapangan malah menunjukan kejadian atau peristiwa sebaliknya. Menurut catatan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), sepanjang tahun 2023 ada sekitar 241 konflik agraria diatas tanah 638,2 hektar. Angka ini naik dari kejadian tahun 2022 yakni 212 konflik atau sekitar 12 persen.
Tahun 2024 menjadi tahun dengan jumlah konflik terbanyak, yaitu mencapai 295 kasus atau naik 21,9 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan jumlah kasus ini juga mencakup tentang tindak kekerasan dan kriminalitas di wilayah konflik.
Konflik yang sama sepertinya bisa terjadi di Kabupaten Garut. Pasalnya, pada tahapan proses redistribusi saja, ratusan masyarakat sudah mengaku kecewa, karena tiba-tiba terbit Surat Keputusan Bupati Garut terkait penetapan subjek redistribusi lahan garapan eks HGU (Hak Guna Usaha) PT Condong Garut.
“Kami sebagai masyarakat penggarap merasa heran tiba-tiba terbit Surat Keputusan Bupati Garut Nomor 100.3.3.2/KEP.469-DISPERKIM/2025 Tanggal 3 Oktober 2025, tentang Penetapan Subjek Redistribusi Tanah di Desa Tegalgede dan Desa Tanjungmulya Kecamatan Pakenjeng, Desa Tegallega dan Desa Hanjuang Kecamatan Bungbulang serta Desa Cigadog Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Tahun 2025,” imbuh Koordinator forum warga penggarap eks HGU PT. Condong Garut didampingi Kuasa Hukumnya, Asep Muhidin S.H., MH, Selasa (18/11/2025).

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues














