
Elu menegaskan, pendistribusian lahan oleh pemerintah desa dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) ) dianggap tidak transparan dan tidak tidak melibatkan seluruh penggarap dalam perumusan subjek redistribusi.
“Masyarakat yang hadir pada sosialisasi di Desa Tegalgede memang ada, tetapi daftar hadir itu bukan menyetujui siapa saja subjek redistribusi di lahan eks HGU Condong. Kami bebrapa kali meminta itu melalui berbagai cara, tetapi belum pernah mendapatkan jawaban. Eh tiba-tiba muncul SK Bupati. Benar-benar jauh dari professional,” tandasnya.
Berdasarkan data yang ia peroleh dari SK Bupati tentang redistribusi tanah yang ia persoalkan, banyak warga yang benar-benar membutuhkan dan layak menerima, mereka tidak tercatat dalam SK itu.
“Berdasarkan catatan kami dari 641 orang penerima redistribusi, ada nama penerima namun bukan penggarap, yaitu sekitar 200 orang dan ada 4 orang yang bukan warga Desa Tegalgede,” terangnya.
Elu menganggap, subjek redistribusi di Desa Tegalgede juga tidak adil. Warga yang benar-benar penggarap hanya mendapat bagian yang lebih kecil dibandingkan dengan pihak-pihak yang ia nilai bukan penggarap.
“Ada pihak-pihak yang kami kenal bukan penggarap, tetapi mendapat lahan yang sangat luas, bahkan satu keluarga, mulai dari suami, istri dan anaknya sekaligus ada yang mendapat hampir 3 hektar,” papar Elu.
Salah satu kampung, Elu, dari 77 Kepala Keluarga sebagai penggarap, hanya ada 7 orang yang menjadi subjek redistribusi lahan eks Condong Garut. “Bagaimana nasib 70 KK yang lain. Mereka juga butuh tanah untuk pemukiman dan lahan untuk Bertani,” katanya.

Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues














