LOCUSONLINE, JAKARTA – Peluncuran buku Sejarah Indonesia Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global oleh Kementerian Kebudayaan RI menjadi penanda ambisi besar negara dalam menata ulang narasi sejarah nasional. Sepuluh jilid, 123 sejarawan, 34 perguruan tinggi angka-angka yang terdengar megah, rapi, dan akademis. Namun di balik itu, satu pertanyaan mengemuka: mungkinkah perjalanan ribuan tahun sebuah bangsa diringkas tanpa kehilangan denyut kritisnya?
Menteri Kebudayaan Fadli Zon secara terbuka mengakui keterbatasan proyek ini. Sejarah Indonesia, katanya, bila ditulis lengkap, bisa mencapai 100 jilid. Maka sepuluh jilid yang diluncurkan saat ini diposisikan sebagai highlight, potongan besar yang dianggap mewakili perjalanan bangsa dari prasejarah hingga era Reformasi. Pernyataan ini jujur, tapi sekaligus problematik.
Baca Juga : Lahan Sawah Jadi Pabrik, Penyidikan Jalan di Tempat, Kejelasan Hukum Masih Absen
Sejarah bukan sekadar etalase peristiwa penting. Ia adalah arena tafsir, konflik, ingatan kolektif dan tak jarang luka yang belum sembuh. Ketika negara memilih mana yang “cukup penting” untuk dimasukkan sebagai ringkasan nasional, di situlah kewaspadaan publik seharusnya bekerja.
Struktur sepuluh jilid buku ini terlihat sistematis dari akar peradaban Nusantara, interaksi global, kolonialisme, pergerakan nasional, hingga Orde Baru dan Reformasi. Bahkan peristiwa simbolik seperti kembalinya fosil Java Man ikut dimaknai sebagai kedaulatan budaya. Namun sistematis tidak selalu berarti kritis. Pertanyaannya bukan apa saja yang dimasukkan, melainkan apa yang terpaksa ditinggalkan.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”









