Fadli Zon menegaskan bahwa buku ini ditulis oleh sejarawan, bukan oleh pemerintah. Klaim ini penting, sekaligus menuntut pembuktian jangka panjang, dalam sejarah Indonesia, relasi antara kekuasaan dan narasi masa lalu bukan hal baru. Dari buku pelajaran era Orde Baru hingga polemik tafsir peristiwa 1965, sejarah kerap menjadi arena yang rawan disederhanakan demi stabilitas versi penguasa.
Jilid tentang Orde Baru, misalnya, diberi tajuk “Pembangunan dan Stabilitas Nasional.” Frasa yang rapi, tapi mengundang tafsir stabil bagi siapa, dan dengan harga apa? Begitu pula jilid Reformasi hingga 2024 periode yang masih hidup, masih panas, dan masih diperdebatkan. Menuliskan sejarah yang belum benar-benar selesai selalu berisiko melahirkan kesimpulan prematur.
Baca Juga : Anak SMPN 1 Sukawening Nyanyi Gambus Bawa Pulang Juara Nasional
Di sisi lain, langkah ini patut diapresiasi sebagai upaya serius negara menghadirkan sejarah berbasis riset akademik, bukan sekadar slogan. Keterlibatan ratusan sejarawan dari berbagai kampus membuka peluang pluralitas sudut pandang asal ruang perbedaan itu benar-benar dibiarkan bernapas, bukan diseragamkan di meja editorial.
Penerbitan buku ini, yang dikaitkan dengan peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, menunjukkan satu hal: negara ingin berdamai dengan masa lalu sekaligus menatanya ulang. Namun berdamai dengan sejarah bukan berarti merapikannya hingga tampak jinak. Sejarah justru penting karena sifatnya yang berisik, tidak nyaman, dan sering kali membantah versi resmi.
Sepuluh jilid ini mungkin bukan akhir, melainkan pembuka. Jika kelak disusul buku-buku tematik tentang Majapahit, Sriwijaya, atau Pajajaran, publik berharap satu hal sederhana sejarah tidak ditulis untuk membuat bangsa terlihat selalu benar, melainkan untuk membuatnya cukup jujur menghadapi dirinya sendiri.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”









